JAKARTA, KOMPAS.com – Pasar Tanah Abang
merupakan salah satu pusat perbelanjaan grosir terbesar di Jakarta.
Tidak hanya itu, pasar tersebut pula telah mengalami beberapa perubahan
sejak dibangun pertama kali hingga saat ini.
Pasar Tanah Abang yang dulu dikenal dengan Pasar Sabtu berdiri sejak tahun 1735. Yustinus Vinck adalah sosok yang dikenal sebagai pendiri pasar perdagangan ini atas izin dari Gubernur Jenderal Abraham Patramini.
Tak hanya dikenal dengan Pasar Sabtu, kabarnya orang-orang Belanda saat itu memanggilnya De Nabang. Sebab, di sana konon terdapat banyak pohon nabang atau pohon palem yang tertanam di sekitar kawasan itu. Kemudian, masyarakat Batavia mulai merubah panggilan pasar tersebut menjadi Tenabang.
Sementara itu, Pendiri Komunitas Jelajah Budaya, Kartum Setiawan bercerita bahwa Pasar Tanah Abang dulu pernah menjadi pasar hewan, salah satu hewan yang banyak dijual ketika itu adalah kambing.
Kemudian seorang penulis, Abdul Chaer pun menggambarkan Tanah Abang dalam bukunya yang berjudul Tenabang Tempo Doeloe (2017).
Chaer dalam bukunya menceritakan bagaimana kawasan Tanah Abang yang semula merupakan lahan yang rimbun juga asri.
Zaman dulu, tanah di Jakarta dikuasai oleh Belanda. Pada tahun 1648, seorang kapitan China bernama Phoa Beng Gam meminta izin dari kongsi dagang Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC) untuk membuka lahan di Tanah Abang yang kini masuk wilayah Jakarta Pusat untuk dijadikan kebun.
"Setelah dibuka, dia buat kebun tebu, dengan kanal dan pabrik gulanya. Dulu gula komoditi yang baik dan menguntungkan," kata Chaer.
Maka
dari itu, jika Anda sadari, di kawasan Tanah Abang, banyak nama jalan
yang diawali dengan kata kebun, yang disesuaikan dengan identitas masa
lalunya.
Tanah Abang ketika itu merupakan hamparan perkebunan mulai dari kacang, jahe, melati, nanas, sirih, hingga kebun sayur-mayur.
Sampai pada akhirnya Vinck mendirikan Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen. Namun, lima tahun setelah pasar itu bediri, pada tahun 1740 terjadi kerusuhan, Belanda membantai orang-orang China, merampas harta benda mereka, dan membakar kebun-kebun mereka.
"Tanah Abang lesu, pasar lesu, hancur semua perekonomian," kata Chaer.
Perputaran uang di Tanah Abang kembali hidup di abad 20, ketika saudagar China dan Arab banyak bermukim di Tanah Abang yang dikembalikan peruntukannya sebagai pasar oleh Belanda. Tahun 1881, Pasar Tanah Abang berangsur pulih. Pasar mulai dibuka dua hari yakni Sabtu dan Rabu.
Menjadi pusat grosir
Kian kemari, kawasan Pasar Tanah Abang tumbuh cukup pesat dengan ribuan pedagang yang hadir berjualan di sana. Pasar tersebut kini buka setiap hari Senin hingga Minggu. Waktunya sendiri mulai pagi hingga sore hari.
Bangunan pasar pun nampak lebih mewah, dengan adanya perbaikan gedung di setiap bloknya juga hadir gedung bertingkat yang cukup tinggi. Tak hanya itu, seperti halnya Pasar Tanah Abang Metro, Blok A, dan Blok B telah dilengkapi dengan fasilitas AC.
Pasar Tanah Abang terbagi menjadi tiga wilayah, yaitu Tanah Abang Metro, Tanah Abang Lama dan Tanah Abang AURI. Tanah Abang Lama terdiri dari beberapa blok, antara lain blok A, B dan F. Sementara Tanah Abang AURI memiliki blok yang lebih banyak, yaitu A, B, C, D, E, F, G, AA, BB dan CC.
Di
pasar tersebut, disediakan beragam macam barang. Mulai dari busana
seperti pakaian muslim, baju batik, kerudung, mukena, busana hajian,
pakaian anak-anak. Lalu juga perlengkapan rumah tangga, dari spring bed,
gorden, seprai, handuk, hingga keset.
Kemudian, di sana bisa menemukan banyak aksesoris, seperti kalung, gesper, gelang, bros. Tak ketinggalan ada pula tas cantik dan koper yang bisa ditemukan.
Pasar semrawut
Pasar Tanah Abang terus menjadi perhatian warga. Sebab, tak hanya penuh dengan pengunjung yang berbelanja, lokasi di luar gedung pun dipenuhi oleh pedagang kaki lima (PKL).
Belum lagi kemacetan yang nampaknya selalu saja hadir setiap harinya. Ditambah dengan tingkat kriminalitas yang menjadi ketakutan orang-orang jika berada di sana.
Untuk PKL sendiri, di tahun 2013, Pemerintah Provinsi (Pemorov) DKI Jakarta pernah mencoba merelokasi para PKL. Terutama yang berada di kawasan dekat dengan Stasiun Tanah Abang untuk pindah ke gedung Blok G pasar.
Namun, karena sepi pengunjung, para pedagang kembali mengokupasi jalur pedestrian. Hal tersebut pun menjadi persoalan di lapangan.
Menurut
Chaer, wajah Tanah Abang saat ini disebabkan karena ada sarana
transportasi kereta yang menghubungkan Tanah Abang dengan pusat
perekonomian lainnya.
Padahal dulu, kata Chaer, perjalanan dari atau ke Tanah Abang ditempuh dengan delman, oprek, hingga trem. Namun kini, orang-orang bisa dengan mudah untuk bisa sampai di Pasar Tanah Abang.
(Baca juga : 5 Oleh-oleh Khas Tanah Suci yang Bisa Dibeli di Tanah Abang)
Pengunjung diberikan banyak pilihan mulai dari kereta rel listrik (KRL), Transjakarta, Kopaja, metromini, taksi, bajaj, ojek, juga transportasi online.
Bagi Chaer, adanya proses modernisasi mengakibatkan pergeseran yang pahit bagi orang Betawi yang dulunya menguasai Tanah Abang. Mereka pun bergeser, menjual tanah dan pindah ke daerah lain seperti Condet, Depok, hingga Bekasi.
Pasar Tanah Abang yang dulu dikenal dengan Pasar Sabtu berdiri sejak tahun 1735. Yustinus Vinck adalah sosok yang dikenal sebagai pendiri pasar perdagangan ini atas izin dari Gubernur Jenderal Abraham Patramini.
Tak hanya dikenal dengan Pasar Sabtu, kabarnya orang-orang Belanda saat itu memanggilnya De Nabang. Sebab, di sana konon terdapat banyak pohon nabang atau pohon palem yang tertanam di sekitar kawasan itu. Kemudian, masyarakat Batavia mulai merubah panggilan pasar tersebut menjadi Tenabang.
Sementara itu, Pendiri Komunitas Jelajah Budaya, Kartum Setiawan bercerita bahwa Pasar Tanah Abang dulu pernah menjadi pasar hewan, salah satu hewan yang banyak dijual ketika itu adalah kambing.
Chaer dalam bukunya menceritakan bagaimana kawasan Tanah Abang yang semula merupakan lahan yang rimbun juga asri.
Zaman dulu, tanah di Jakarta dikuasai oleh Belanda. Pada tahun 1648, seorang kapitan China bernama Phoa Beng Gam meminta izin dari kongsi dagang Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC) untuk membuka lahan di Tanah Abang yang kini masuk wilayah Jakarta Pusat untuk dijadikan kebun.
"Setelah dibuka, dia buat kebun tebu, dengan kanal dan pabrik gulanya. Dulu gula komoditi yang baik dan menguntungkan," kata Chaer.
Tanah Abang ketika itu merupakan hamparan perkebunan mulai dari kacang, jahe, melati, nanas, sirih, hingga kebun sayur-mayur.
Sampai pada akhirnya Vinck mendirikan Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen. Namun, lima tahun setelah pasar itu bediri, pada tahun 1740 terjadi kerusuhan, Belanda membantai orang-orang China, merampas harta benda mereka, dan membakar kebun-kebun mereka.
"Tanah Abang lesu, pasar lesu, hancur semua perekonomian," kata Chaer.
Perputaran uang di Tanah Abang kembali hidup di abad 20, ketika saudagar China dan Arab banyak bermukim di Tanah Abang yang dikembalikan peruntukannya sebagai pasar oleh Belanda. Tahun 1881, Pasar Tanah Abang berangsur pulih. Pasar mulai dibuka dua hari yakni Sabtu dan Rabu.
Menjadi pusat grosir
Kian kemari, kawasan Pasar Tanah Abang tumbuh cukup pesat dengan ribuan pedagang yang hadir berjualan di sana. Pasar tersebut kini buka setiap hari Senin hingga Minggu. Waktunya sendiri mulai pagi hingga sore hari.
Bangunan pasar pun nampak lebih mewah, dengan adanya perbaikan gedung di setiap bloknya juga hadir gedung bertingkat yang cukup tinggi. Tak hanya itu, seperti halnya Pasar Tanah Abang Metro, Blok A, dan Blok B telah dilengkapi dengan fasilitas AC.
Pasar Tanah Abang terbagi menjadi tiga wilayah, yaitu Tanah Abang Metro, Tanah Abang Lama dan Tanah Abang AURI. Tanah Abang Lama terdiri dari beberapa blok, antara lain blok A, B dan F. Sementara Tanah Abang AURI memiliki blok yang lebih banyak, yaitu A, B, C, D, E, F, G, AA, BB dan CC.
Kemudian, di sana bisa menemukan banyak aksesoris, seperti kalung, gesper, gelang, bros. Tak ketinggalan ada pula tas cantik dan koper yang bisa ditemukan.
Pasar semrawut
Pasar Tanah Abang terus menjadi perhatian warga. Sebab, tak hanya penuh dengan pengunjung yang berbelanja, lokasi di luar gedung pun dipenuhi oleh pedagang kaki lima (PKL).
Belum lagi kemacetan yang nampaknya selalu saja hadir setiap harinya. Ditambah dengan tingkat kriminalitas yang menjadi ketakutan orang-orang jika berada di sana.
Untuk PKL sendiri, di tahun 2013, Pemerintah Provinsi (Pemorov) DKI Jakarta pernah mencoba merelokasi para PKL. Terutama yang berada di kawasan dekat dengan Stasiun Tanah Abang untuk pindah ke gedung Blok G pasar.
Namun, karena sepi pengunjung, para pedagang kembali mengokupasi jalur pedestrian. Hal tersebut pun menjadi persoalan di lapangan.
Padahal dulu, kata Chaer, perjalanan dari atau ke Tanah Abang ditempuh dengan delman, oprek, hingga trem. Namun kini, orang-orang bisa dengan mudah untuk bisa sampai di Pasar Tanah Abang.
(Baca juga : 5 Oleh-oleh Khas Tanah Suci yang Bisa Dibeli di Tanah Abang)
Pengunjung diberikan banyak pilihan mulai dari kereta rel listrik (KRL), Transjakarta, Kopaja, metromini, taksi, bajaj, ojek, juga transportasi online.
Bagi Chaer, adanya proses modernisasi mengakibatkan pergeseran yang pahit bagi orang Betawi yang dulunya menguasai Tanah Abang. Mereka pun bergeser, menjual tanah dan pindah ke daerah lain seperti Condet, Depok, hingga Bekasi.
Dapatkan Promo Deposit awal Khusus IBCBET Sebesar :
-Depo Rp.100.000 Dapatnya Rp.125.000
-Depo Rp.500.000 Dapatnya Rp.650.000
-Depo Rp.1.000.000 Dapatnya Rp.1.500.000