Pernyataan PSSI untuk Sanksi Persib Terkait Koreografi

Sekretaris Jenderal PSSI Ratu Tisha Destria usai melayat ke rumah duka almarhum Catur Juliantono, suporter yang meninggal dunia terkena tembakan petasan usai pertandingan timnas Indonesia VS Fiji di Stadion Patriot Candrabhaga, Minggu (3/9/2017).

Sekretaris Jenderal PSSI Ratu Tisha Destria usai melayat ke rumah duka almarhum Catur Juliantono, suporter yang meninggal dunia terkena tembakan petasan usai pertandingan timnas Indonesia VS Fiji di Stadion Patriot Candrabhaga, Minggu (3/9/2017).(KOMPAS.com/JESSI CARINA )

KOMPAS.com - Komite Disiplin PSSI menjatuhkan sanksi terhadap Persib Bandung. Ini sebagai tindak lanjut aksi solidaritas dalam bentuk koreografi bertajuk "Save Rohingya" ketika Maung Bandung menjamu Semen Padang dalam laga Liga 1 di Stadion Si Jalak Harupat Bandung, Sabtu (9/9/2017).

Persib dianggap melanggar Kode Disipliner FIFA. PSSI menilai Persib melanggar Pasal 67.3 dari Kode Disiplin PSSI yang diterapkan sesuai dengan Kode Disipliner FIFA.

Dalam ketentuan yang berlaku secara global, FIFA menentukan bahwa pemaparan simbol politik dalam bentuk apapun dianggap sebagai tindakan yang tidak sesuai, yang dapat dikenakan sanksi.
Namun, ketentuan ini mengundang pertanyaan yang lebih mendalam: sejauh apa suatu simbol dapat dianggap terkait dengan politik? Untuk itu, PSSI mengeluarkan pernyataan melalui Sekretaris Jenderal PSSI, Ratu Tisha Destria.

FIFA tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai unsur apa saja yang dapat dikategorikan sebagai hal yang bersifat politis. Dengan demikian, jawaban dari pertanyaan itu bisa diformulasikan dengan merujuk pada preseden FIFA dalam menjatuhkan sanksi. Dalam konteks ini, tentunya sanksi dimaksud adalah sanksi yang dijatuhkan terhadap adanya simbol-simbol yang bersifat politis dalam penyelenggaraan sepakbola baik oleh pemain, klub maupun asosiasi anggota seperti PSSI.

Di penghujung tahun 2016, FIFA menjatuhkan sanksi terhadap beberapa federasi anggotanya di Inggris Raya, termasuk FA negara Inggris, Skotlandia dan Wales. Sanksi berupa denda tersebut diberikan FIFA terhadap tindakan dari federasi-federasi tersebut dalam mengizinkan tim-tim nasional mereka menggunakan atribut bunga poppies pada seragam yang dikenakan pemain pada pertandingan-pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2018.

Hal ini tetap terjadi walaupun – berdasarkan pembelaan setiap federasi  – simbol poppies tersebut dipakai untuk memperingati korban perang dan juga menghormati veteran-veteran perang. 

Perwakilan FIFA menyatakan bahwa institusinya menghargai makna yang terkandung dalam simbol tersebut beserta pihak-pihak yang dihormati dari pemakaian simbolnya.

Akan tetapi FIFA mengambil sikap tegas untuk menerapkan prinsip bahwa sepak bola bebas dari unsur politik, agama dan ras. Prinsip ini diadopsi dari gerakan olimpiade yang diusung oleh Komite Olimpiade Internasional (IOC), yang keberadaannya juga menjadi induk bagi FIFA dan sepak bola secara global.

Selain FIFA, dalam tingkat regional, konfederasi-konfederasi FIFA juga konsisten dalam menerapkan aturan ini. UEFA - konfederasi sepak bola di benua Eropa – beberapa tahun lalu menjatuhkan sanksi denda kepada beberapa klub anggotanya, termasuk klub kelas dunia seperti Glasgow Celtic FC, karena terdapat beberapa suporter yang ditemukan membawa bendera Palestina saat pertandingan resmi yang diawasi oleh FIFA.

Insiden ini terjadi tidak lama setelah adanya sebuah eskalasi pada konflik Israel-Palestina, yang merupakan salah satu konflik terpanjang dalam sejarah yang berakibat pada jatuhnya demikian banyak korban jiwa dari kedua belah pihak. Alasannya pengenaan sanksi ini juga sama, yakni karena tindakan para suporter tersebut mengandung unsur politik.

Terlepas dari apapun pendapat ataupun pandangan politik sekelompok suporter sepak bola terhadap konflik manapun, berdasarkan prinsip non-politik FIFA, hal-hal seperti ini tidak dapat diakomodir dalam penyelenggaraan sepak bola.

Polemik terkait dengan keberadaan dan hak asasi etnis Rohingya di Myanmar adalah sebuah isu yang memiliki aspek politik  dan historis yang kompleks dan memiliki dampak yang global, terutama secara hukum. Polemik ini mengundang spekulasi terkait implementasi hukum internasional terhadap Pemerintah Myanmar, sebagai sebuah negara berdaulat.

Bukti paling nyata adalah fakta bahwa perdebatan mengenai tragedi pada etnis Rohingya telah dibahas dalam rapat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), yang kewenangannya meliputi aspek-aspek terkait kedamaian dan keamanan internasional. Perkembangan ini menunjukan bahwa isu etnis Rohingya sudah terkait dengan hak dan kewajiban negara Myanmar secara 
internasional dalam menerapkan kedaulatan di wilayahnya sendiri.

Apabila situasi ini dikaji lebih mendalam, negara-negara yang melakukan pembicaraan mengenai posisi Myanmar secara hukum di kancah internasional juga memiliki kepentingan tersendiri, terutama saat memperdebatkan hal ini di forum-forum seperti PBB.

Selain itu, di dalam negeri, perhatian publik kepada nasib etnis Rohingya sangatlah besar. Perhatian ini diikuti dengan lahirnya aspirasi-aspirasi yang kritis dan aktif dari masyarakat, termasuk permintaan agar Pemerintah Republik Indonesia mengambil sikap aktif untuk mengecam Pemerintah Myanmar dalam perlakuannya terhadap etnis Rohingya. Artinya terdapat nilai politis yang sangat 
masif dari perdebatan mengenai etnis Rohingya, baik secara internasional maupun nasional di Indonesia.

Dalam Statuta PSSI, segenap anggota PSSI sepakat bahwa salah satu tujuan PSSI adalah mematuhi segenap peraturan FIFA dan AFC. Untuk mencapai tujuan ini, maka disepakati pula bahwa PSSI akan bersikap netral dalam politik dan agama.

"Pada prinsipnya, PSSI sangat menentang tragedi kemanusiaan dalam bentuk apapun, di daerah apapun, terlebih apabila suatu tragedi menyebabkan hilangnya banyak nyawa. PSSI akan terus menjadikan perdamaian sebagai tujuan utama dari penyelenggaraan sepakbola, seperti yang tertuang dalam Statuta PSSI dan FIFA," Demikian penegasan dari Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi.

Tidak dapat dipungkiri, status etnis Rohingya saat ini sangatlah memprihatinkan. Sebagai sebuah institusi, PSSI berharap ada solusi yang damai dan konsisten dengan hak asasi manusia dan ketentuan hukum yang berlaku dari konflik di Myanmar.

Berakhirnya konflik di Rohingya akan menjadi langkah yang sangat signifikan untuk perdamaian dunia. Namun demikian, PSSI harus tetap menjalankan fungsinya sebagai badan induk sepak bola dengan tanpa mengadopsi pandangan politik apapun dan menjunjung tinggi netralitas. Karena prinsip ini adalah prinsip yang telah menjadi komitmen bersama secara global dalam penyelenggaraan olahraga untuk mempromosikan perdamaian.